Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia.

Sabtu, 28 Mei 2011

Mengokohkan Geostrategi Indonesia di Pasifik


Dunia paska perang dingin tidak lagi berjalan dalam kontrol satu blok persekutuan, sebagaimana pernah tercermin dalam kontrol hegemonik Amerika Serikat bersama sekutunya atas dunia. Kini, perkembangan dunia makin berciri multipolarisitik, yang ditandai oleh perkembangan blok persekutuan multi kerjasama dengan trend regionalisme yang signifikan. Dalam pada itu, masa depan dunia tidak bisa dibayangkan tidak dalam pertarungan antara negara-negara.

Perkembangan dunia multipolar ini mengharuskan setiap negara untuk mengharuskan, khususnya dikawasan ‘negara berkembang’, memposisikan dirinya secara cerdas juga efektif agar tak menjadi korban lanjutan dari pertarungan negara-negara dilingkaran metropolis/centris state. Sebagaimana ketika menjadi korban dari pertikaian panjang blok kapitalisme versus blok komunis. Pertikaian panjang yang justru memelihara status negara-negara berkembang sebagai pinggiran (periphery state), menjadi penyedia bahan baku, tenaga kerja murah dan konsumen.

Jika selintas menyimak perkembangan ekonomi Asia-Pasifik, tampaknya telah berkembang kesepahaman bahwa kawasan ini akan menjadi central penggerak perkembangan dunia. Salah satu yang sering disebut-sebut adalah perkembangan pesat China bersama India yang kini menjadi kampiun pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, ada sebagian kalangan yang menyebut, kini tengah tumbuh kekuatan ekonomi yang disebut dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa). Eksistensi BRICS, secara geoposisi, hanya mewakilkan Rusia sebagai dari Eropa, selebihnya, merupakan wilayah bekas koloni Eropa. Hanya saja, perlu digaris bawahi, bahwa Rusia baru dibawah Putin, mampu menghadirkan dirinya sebagai kekuatan yang tidak bisa dipandang remeh Amerika Serikat, sebagaimana dulu, Rusia paska 1989, yang terseok-seok dibawah operasi ekonomi International Monetary Fund.

Demikian juga China, yang mengembangkan model kerjasama regional untuk mengikat Asia Tenggara yang dikenal dengan Asian-China Free Trade Area (AC-FTA). Apa yang dilakukan China, juga dilakukan Jepang, yang sama mengikat Asia Tenggara, dengan judul Economic Partnership Agreement (EPA). Model regonalisme multi aspek ini, setidaknya, merefleksikan mekanisme perundingan kerjasama ditingkat World Trade Organization (WTO). China,bersama Rusia, begitu agresif untuk menjadi negara yang kuat dan berpengaruh di dunia dan secara terbuka berani bertikai dengan Amerika Serikat, lewat blok kerjasama mereka : Shanghai Coorporation Organization (SCO).

Belum lagi, keberadaan Asia Pasifik Economic Forum (APEC), yang berdiri sejak tahun 1989. Posisi APEC, sebagai model regionalisme dalam konteks kerjasama ekonomi, politik, kebudayaan, bahkan militer sudah lama dinilai strategis. Putin, dalam sebuah tulisannya yang dimuat situs Kedutaan Besar Rusia di Indonesia, juga menegaskan arti penting Pasifik, dimata Rusia sebagai barometer perkembangan dunia masa depan. Rusia secara khusus juga bersedia menjadi partner dalam menghadapi perompak laut dan aksi-aksi terorisme global. Penilaian yang kurang lebih sama juga datang dari sudut pandang Jepang, China,maupun Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).

Lokasi strategis Indonesia, yang sudah berlangsung sejak zaman perniagaan maritim lama (tahun 1500an), di tengah pertarungan kekuatan ekonomi Asia Pasifik dan Eropa telah menempatkan lautan Indonesia secara geopolitik dan geoekonomi menjadi rebutan negara maju. Di Asia, setidaknya China, Jepang, Korea Selatan, Rusia dan Australia, berupaya memperkuat pengaruhnya di Indonesia. Apalagi Amerika Serikat yang kini hubungannya kurang mesra dengan China berambisi menguasai kawasan perairan Indonesia sebagai strategi memposisikan laut Indonesia sebagai penyangga (buffer) dalam politik global. Bahkan, Uni Eropa tak mau ketinggalan karena menganggap Indonesia sebagai mitra kerja yang strategis secara ekonomi politik.

Selintas perkembangan internasional tergambar diatas selayaknya menjadi sebuah cerminan sekaligus peringatan bangsa ini jika mau menjadi mangarahkan segenap potensi menjadi bangsa besar dan Negara yang kuat. Dengan mana ditandai dengan kedaulatan sepenuhnya menjadikan wilayah lautnya sebagai tumpuan geostrategi. Mengingat kondisi dan pergeseran yang terjadi pada aras sistem Internasional saat ini, diperlukan suatu pandangan geostrategi yang mengintegrasikan peran pemerintah pusat dan derah (propinsi kepulauan). Jika tidak demikian, maka pergeseran pusat ekonomi dunia tengah berlangsung dari zona Atlantik ke Asia Pasifik, dimana hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung diantara negara- negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75 persen barang-barang yang diperdagangkan melalui laut, dan 45 persen (1.300 triliun dollar per tahun) melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang meliputi Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut- laut Indonesia lainnya, tak mampu diakumulasi dengan baik menjadi kekayaan bangsa (the Wealth of Nation).

Sulawesi Utara yang berada di garis depan Indonesia berhadapan dengan Pasifik terus mencoba memainkan lompatan-lompatan historis melalui beberapa event internasional. Yaitu, Konfrensi Kelautan Internasional/World Ocean Conference (WOC) dan Pertemuan Negara-Negara Segitiga Terumbu Karang/Coral Triangle Inisiative (CTI) Summit yang terhitung sukses. Tetapi jika dicermati kedalam, CTI Summit ini masih menyisahkan masalah yang perlu dibenahi terkait asas kedaulatan Indonesia atas wilayah laut karena pengelolaan dan pemanfaatannya sepenuhnya dikendalikan lembaga Internasional bermarkas di Washington, yaitu The Nature Conservation (TNC), Conservation International (CI), dan World Wildlife Fundation (WWF).

Dan kini, Gubernur Sulawesi Utara Drs. Sinyo Harry Sarundajang (2010-2015), terus bergerak maju dengan gagasan besar, menjadikan Sulut sebagai pintu gerbang Indonesia di Asia Pasifik. Imajinasi geostrategi menjadikan Sulut sebagai salah satu Gerbang Indonesia Asia-Pasifik begitu tepat dan seharusnya diwujudkan, mengingat posisi pelabuhan Bitung

Paradigma Kritis Transformatif

Pendahuluan
Kata paradigma dipopulerkan oleh Thomas Kuhn dalam penelitiannya mengenai proses perkembangan ilmu pengetahuan. Kuhn berusaha membantah asumsi lama yang meyakini bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, khusus ilmu alam ( natural science ), berkembang secara evolutif-akumulatif. Bagi Kuhn anggapan ini salah, karena ilmu pengetahuan justru berkembang secara revolusioner. ( Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda:1996).
Paradigma merupakan elemen vital dalam membentuk perspektif atas realitas sosial yang mengitari eksistensi kita. Dalam struktur pemikiran ilmiah paradigma menentukan rumusan masalah yang hendak dianalisis, konstruksi Teori yang digunakan serta turunan metodologi yang mestinya digunakan. Saat yang bersamaan paradigma membentuk karakteristik komunitas pemikir ( intelectual grouping’s) bahkan pada komitmen moral yang diacu.

Perkembangan paradigma jelas memiliki posisi dan memainkan fungsi yang sentral dalam struktur berpikir manusia.
Arti penting posisi dan fungsi paradigma inilah yang disadari sahabat-sahabat warga pergerakan tidak semata sebagai alat analisis bahkan sebagai .................................. "

Baca Selengkapnya : Download format PDF

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More