Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia.

Sabtu, 28 Mei 2011

Mengokohkan Geostrategi Indonesia di Pasifik


Dunia paska perang dingin tidak lagi berjalan dalam kontrol satu blok persekutuan, sebagaimana pernah tercermin dalam kontrol hegemonik Amerika Serikat bersama sekutunya atas dunia. Kini, perkembangan dunia makin berciri multipolarisitik, yang ditandai oleh perkembangan blok persekutuan multi kerjasama dengan trend regionalisme yang signifikan. Dalam pada itu, masa depan dunia tidak bisa dibayangkan tidak dalam pertarungan antara negara-negara.

Perkembangan dunia multipolar ini mengharuskan setiap negara untuk mengharuskan, khususnya dikawasan ‘negara berkembang’, memposisikan dirinya secara cerdas juga efektif agar tak menjadi korban lanjutan dari pertarungan negara-negara dilingkaran metropolis/centris state. Sebagaimana ketika menjadi korban dari pertikaian panjang blok kapitalisme versus blok komunis. Pertikaian panjang yang justru memelihara status negara-negara berkembang sebagai pinggiran (periphery state), menjadi penyedia bahan baku, tenaga kerja murah dan konsumen.

Jika selintas menyimak perkembangan ekonomi Asia-Pasifik, tampaknya telah berkembang kesepahaman bahwa kawasan ini akan menjadi central penggerak perkembangan dunia. Salah satu yang sering disebut-sebut adalah perkembangan pesat China bersama India yang kini menjadi kampiun pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, ada sebagian kalangan yang menyebut, kini tengah tumbuh kekuatan ekonomi yang disebut dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa). Eksistensi BRICS, secara geoposisi, hanya mewakilkan Rusia sebagai dari Eropa, selebihnya, merupakan wilayah bekas koloni Eropa. Hanya saja, perlu digaris bawahi, bahwa Rusia baru dibawah Putin, mampu menghadirkan dirinya sebagai kekuatan yang tidak bisa dipandang remeh Amerika Serikat, sebagaimana dulu, Rusia paska 1989, yang terseok-seok dibawah operasi ekonomi International Monetary Fund.

Demikian juga China, yang mengembangkan model kerjasama regional untuk mengikat Asia Tenggara yang dikenal dengan Asian-China Free Trade Area (AC-FTA). Apa yang dilakukan China, juga dilakukan Jepang, yang sama mengikat Asia Tenggara, dengan judul Economic Partnership Agreement (EPA). Model regonalisme multi aspek ini, setidaknya, merefleksikan mekanisme perundingan kerjasama ditingkat World Trade Organization (WTO). China,bersama Rusia, begitu agresif untuk menjadi negara yang kuat dan berpengaruh di dunia dan secara terbuka berani bertikai dengan Amerika Serikat, lewat blok kerjasama mereka : Shanghai Coorporation Organization (SCO).

Belum lagi, keberadaan Asia Pasifik Economic Forum (APEC), yang berdiri sejak tahun 1989. Posisi APEC, sebagai model regionalisme dalam konteks kerjasama ekonomi, politik, kebudayaan, bahkan militer sudah lama dinilai strategis. Putin, dalam sebuah tulisannya yang dimuat situs Kedutaan Besar Rusia di Indonesia, juga menegaskan arti penting Pasifik, dimata Rusia sebagai barometer perkembangan dunia masa depan. Rusia secara khusus juga bersedia menjadi partner dalam menghadapi perompak laut dan aksi-aksi terorisme global. Penilaian yang kurang lebih sama juga datang dari sudut pandang Jepang, China,maupun Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).

Lokasi strategis Indonesia, yang sudah berlangsung sejak zaman perniagaan maritim lama (tahun 1500an), di tengah pertarungan kekuatan ekonomi Asia Pasifik dan Eropa telah menempatkan lautan Indonesia secara geopolitik dan geoekonomi menjadi rebutan negara maju. Di Asia, setidaknya China, Jepang, Korea Selatan, Rusia dan Australia, berupaya memperkuat pengaruhnya di Indonesia. Apalagi Amerika Serikat yang kini hubungannya kurang mesra dengan China berambisi menguasai kawasan perairan Indonesia sebagai strategi memposisikan laut Indonesia sebagai penyangga (buffer) dalam politik global. Bahkan, Uni Eropa tak mau ketinggalan karena menganggap Indonesia sebagai mitra kerja yang strategis secara ekonomi politik.

Selintas perkembangan internasional tergambar diatas selayaknya menjadi sebuah cerminan sekaligus peringatan bangsa ini jika mau menjadi mangarahkan segenap potensi menjadi bangsa besar dan Negara yang kuat. Dengan mana ditandai dengan kedaulatan sepenuhnya menjadikan wilayah lautnya sebagai tumpuan geostrategi. Mengingat kondisi dan pergeseran yang terjadi pada aras sistem Internasional saat ini, diperlukan suatu pandangan geostrategi yang mengintegrasikan peran pemerintah pusat dan derah (propinsi kepulauan). Jika tidak demikian, maka pergeseran pusat ekonomi dunia tengah berlangsung dari zona Atlantik ke Asia Pasifik, dimana hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung diantara negara- negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75 persen barang-barang yang diperdagangkan melalui laut, dan 45 persen (1.300 triliun dollar per tahun) melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang meliputi Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut- laut Indonesia lainnya, tak mampu diakumulasi dengan baik menjadi kekayaan bangsa (the Wealth of Nation).

Sulawesi Utara yang berada di garis depan Indonesia berhadapan dengan Pasifik terus mencoba memainkan lompatan-lompatan historis melalui beberapa event internasional. Yaitu, Konfrensi Kelautan Internasional/World Ocean Conference (WOC) dan Pertemuan Negara-Negara Segitiga Terumbu Karang/Coral Triangle Inisiative (CTI) Summit yang terhitung sukses. Tetapi jika dicermati kedalam, CTI Summit ini masih menyisahkan masalah yang perlu dibenahi terkait asas kedaulatan Indonesia atas wilayah laut karena pengelolaan dan pemanfaatannya sepenuhnya dikendalikan lembaga Internasional bermarkas di Washington, yaitu The Nature Conservation (TNC), Conservation International (CI), dan World Wildlife Fundation (WWF).

Dan kini, Gubernur Sulawesi Utara Drs. Sinyo Harry Sarundajang (2010-2015), terus bergerak maju dengan gagasan besar, menjadikan Sulut sebagai pintu gerbang Indonesia di Asia Pasifik. Imajinasi geostrategi menjadikan Sulut sebagai salah satu Gerbang Indonesia Asia-Pasifik begitu tepat dan seharusnya diwujudkan, mengingat posisi pelabuhan Bitung

Paradigma Kritis Transformatif

Pendahuluan
Kata paradigma dipopulerkan oleh Thomas Kuhn dalam penelitiannya mengenai proses perkembangan ilmu pengetahuan. Kuhn berusaha membantah asumsi lama yang meyakini bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, khusus ilmu alam ( natural science ), berkembang secara evolutif-akumulatif. Bagi Kuhn anggapan ini salah, karena ilmu pengetahuan justru berkembang secara revolusioner. ( Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda:1996).
Paradigma merupakan elemen vital dalam membentuk perspektif atas realitas sosial yang mengitari eksistensi kita. Dalam struktur pemikiran ilmiah paradigma menentukan rumusan masalah yang hendak dianalisis, konstruksi Teori yang digunakan serta turunan metodologi yang mestinya digunakan. Saat yang bersamaan paradigma membentuk karakteristik komunitas pemikir ( intelectual grouping’s) bahkan pada komitmen moral yang diacu.

Perkembangan paradigma jelas memiliki posisi dan memainkan fungsi yang sentral dalam struktur berpikir manusia.
Arti penting posisi dan fungsi paradigma inilah yang disadari sahabat-sahabat warga pergerakan tidak semata sebagai alat analisis bahkan sebagai .................................. "

Baca Selengkapnya : Download format PDF

Kamis, 26 Mei 2011

Laut dan Sejarah dalam Pengetahuan PMII

Catatan dari Semiloka Kemaritiman Nasional PMII di Manado
Subronto Aji


Tema laut juga sejarah dalam keseluruhan varian sub-tema didalamnya barulah marak diwicarakan (belum diwacanakan) kurang lebih setengah dasawarsa terakhir. Sebagaimana itu juga terjadi pada tema sejarah, barulah akhir-akhir ini mulai marak diwicarakan dalam forum-forum PMII. Tetapi, itu tidaklah berarti selama ini, tema laut dan sejarah tidak diperhatikan PMII secara organisasional. Mungkin, porsinya yang kurang diperhatikan, khususnya menyangkut kedalaman dan keluasannya.

Sebab apa tema laut dan sejarah kurang diperhatikan adalah pertanyaan yang akan dijawab dengan bermacam argumentasi. Menurut saya, salah satu sebab adalah sejarah pengetahuan di PMII itu sendiri yang terlalu condong pada tema-tema filsafat , agama, dan teori sosial kritis. Filsafat dalam konteks PMII lebih dominan digunakan untuk memahami pokok pikiran dan relevansinya dengan kebutuhan pergerakan; filsafat yang menjadi praktis. Begitu juga dengan tema-tema keagamaan, jika bukan pada wilayah normativitas, maka ia akan mengambil bentuk-bentuk agama dan pembebasan social. Lalu, pararel dengan itu, teori-teori social pun mengambil bentuk yang sama : instrument kritik dan penggerak komunitas ‘melawan’ sistem social yang timpang dan dehumanistik.

Fenomena seperti ini, dimana filsafat, agama, dan teori sosial, didorong menjadi praktis bisa kita periksa real sejarah gerakan anak PMII. Dalam terang kritisisme, filsafat, agama, dan teori sosial yang dipandang fungsional di PMII adalah yang menganjurkan kritik dan protes-protes langsung serta terbuka terhadap sistem yang menindas. Hanya saja, dalam semangat dan terang kritisisme yang luar biasa itu, dimana kader-kader PMII bisa begitu militant, filsafat, agama, dan teori sosial seringkali tidak cukup mendalam difahami. Akan tetapi, walau terasa kurang dalam lingkup kedalaman, tetapi, ketika menjadi praktis, tema filsafat, agama, dan teori sosial, justru subur dalam dunia wicara anak PMII; naik status dari wicara menjadi wacana.

Barangkali, dalam konteks pewicaraan yang massal, dimana menjadikan ‘segala macam pemikiran dan doktrin keagamaan’ menjadi praktis dengan tingkat utilitas yang tinggi, memang perlu dalam sebuah masa/waktu. Paling tidak, selain membentuk militansi kolektif, juga untuk menguatkan identitas gerakan dalam ruang publik gerakan mahasiswa dan kaum muda. Motivasi membentuk militansi dan identitas gerakan secara terbuka dan kontinyu, dalam sebuah kurun waktu tertentu, memang bisa menjadi factor yang membedakan ‘kita’ dengan ‘bukan kita’. Seperti halnya dalam masa kekuasaan Orde Baru, mekanisme politik kooptasi atau korporatisme begitu efektif dalam mengkanal gerakan mahasiswa dan kaum muda. Sehingga, ada kebutuhan untuk merawat militansi dan identitas kritis vis-à-vis negara.

Formasi dan Postur Pengetahuan PMII

Kita mau mencoba membuat peta sederhana tentang sejarah pengetahuan PMII. Hanya saja, yang dimengerti sebagai pengetahuan janganlah dibayangkan sebagai pengetahuan yang sistematik dalam definisi filsafat. Tetapi pengetahuan yang dimaksud adalah cara pandang PMII terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya yang dari situ PMII menyusun politik pergerakannya. Karena itu, pengetahuan di PMII, bisa bersumber dari ajaran-ajaran keagamaan, filsafat teori social, teori politik, teori ekonomi, dan lainnya, tetapi, dalam prakteknya, ia tidak menjadi filsafat PMII atau teori-teori PMII.

Dalam konteks seperti ini, pengetahuan yang dimaksud adalah tindakan-tindakan rasional PMII ketika menyikapi perubahan lingkungan eksternal pun dalam dirinya, termasuk juga posisi dan relasi-relasi, persaingan, kekalahan, trauma, dendam, dan imajinasi masa depannya. Dus, pengetahuan PMII yang dimaksud bisa dimengerti sebagai modus gerak dari PMII itu sendiri. Ini tak lantas berarti bahwa sumber-sumber pengetahuan, dari ajaran agama, filsafat, atau teori social itu, berbanding lurus dengan tingkat pemahaman yang expert.

Pada usaha menyusun peta sejarah pengetahuan inilah, tema laut dan sejarah turut menjadi bahan baku yang menyusun pengetahuan PMII. Namun, yang perlu dikenali adalah dalam kurun waktu seperti apa, tema-tema tertentu menjadi terlihat dominan, dan yang lain tersingkirkan.

Demikian juga dengan tema sejarah dan laut. Dalam konstruksi kurikulum kaderisasi PMII—artinya juga dalam konstruksi pengetahuannya—barulah mendapat bobotnya yang cukup sekitar setengah dasawarsa terakhir. Fakta ini tercermin dalam dokumen resmi panduan kaderisasi nasional, sebelum munculnya ‘Membangun Centrum Gerakan di era Neoliberal (2005)’ dan ‘ Multilevel Strategy (2008)’. Itu berarti, sebelum ini, konstruksi pengetahuan di PMII, selain menjadi kritisisme yang praktis, juga kurang memberi bobot terhadap sejarah dan laut sebagai ‘subyek material’ yang menyusun nilai, nalar, mental hingga gerak individu pun kolektif.

Perbincangan laut dan sejarah, sebagaimana juga kita lewati di forum seminar dan lokakarya kali ini, merupakan tema yang demikian luasnya. Membicarakan laut adalah membicarakan tema yang meliputi banyak hal, dari soal ekosistem, ekologi pesisir, ekonomi, sosio-antropologi, hingga kosmologi laut. Pun juga untuk tema sejarah, kita bisa membicarakannya sejak zaman pra sejarah hingga sejarah, sejarah orang-orang kecil dan sejarah orang-orang besar, atau, sejarah politik dan sejarah sosial.

Oleh karena itu, terhadap tema laut dan sejarah tersusun paradigma yang bukan saja membedakan, tetapi juga, menunjukan concern, analisis hingga kesimpulan yang berbeda. Deretan paradigma yang berbeda itu, terkadang juga, saling berkonflik dan menegasikan kesimpulan satu terhadap yang lain. Karena begitu, maka, memilih salah satu atau beberapa paradigma dalam memahami narasi laut dan sejarah diperlukan sikap kritis yang menyaratkan kesungguhan menggali kedalaman dan kerumitan.

Hal yang sama juga berlaku bagi PMII. Usia bio-historis PMII yang sudah memasuki usia emas (50 tahun) juga ditandai dengan pasang surut serta bongkar pasang pengetahuan. Sepanjang usia 50 tahun itu, kita bisa membedakan tiga fase pembentukan atau ciri pengetahuan di PMII. Mari kita simak bersama-sama.

Pertama, untuk kurun waktu (1960-1967), pengetahuan PMII tersusun dalam masa-masa pergolakan politik nasional, khususnya yang berkaitan dengan melemahnya Orde Lama. Disisi eksternal, pengetahuan itu disusun ditengah masa perang dingin. Ciri dasar dari pengetahuan di zaman ini adalah konsentrasinya yang besar terhadap isu-isu demokrasi, anti korupsi, juga kesejahteraan rakyat. Salah satu yang bisa menjadi tanda pengetahuan dari masa awal ini adalah munculnya KAMI yang bergerak dibaris depan penjatuhan Soekarno. Bercermin dari kisah awal dimasa masih ‘balita ini’, jejak krisitisme dan resistensi PMII sudah diendapkan.

Kedua, pengetahuan yang terbentuk selama kurun 1967-1973. Kurun waktu ini memberi ciri pengetahuan PMII yang berfokus pada relasi antara Negara dan Rakyat. Kurun waktu ini ditandai dengan deklarasi Munarjati 1973, yang menegaskan independensi PMII dari Nahdlatul Ulama. Sebab, Nahdlatul Ulama kala itu, dipandang terlampau politis; doyan main politik praktis. Fase ini juga ditandai dengan makin menguatnya formasi Negara otoriter dan birokratis bernama Orde Baru, yang mengadopsi model pembangunan modernisasi. Akibat dari mengerasnya struktur otoriter dan birokratis itu adalah marginalisasi luar biasa yang diderita oleh warga Nahdlatul Ulama, yang sering dipandang sebagai kaum tradisionalis, the underdogs dalam istilah Sutan Sjahrir.

Ketiga, pengetahuan yang terbentuk dalam kurun waktu 1973-1998. Yakni, pengetahuan yang terbentuk dalam kultur kritik terhadap perjalanan negara Orde Baru. Untuk kurun waktu kali ini, PMII menyusun pengetahuannya dengan mengambil atau mengadopsi filsafat kritik, teori-teori ketergantungan, dan teologi pembebasan, khususnya Islam. Dalam kurun masa inilah, Arus Balik Masyarakat Pinggiran itu dimunculkan, juga teks tentang Menjadi Kader Pergerakan; keduanya adalah tanda pengetahuan. Yang pertama, berbicara tentang positioning terhadap negara dan modal, sikap dan rencana-rencana gerakan PMII, sedang yang kedua, berbicara tentang karakter dan identitas diri kader PMII. Begitu juga dengan paradigma Kritis Transformatif, yang pada intinya, masih mewarisi semangat Arus Balik Masyarakat Pinggiran.

Keempat, pembentukan pengetahuan dalam kurun waktu 1998-2005. Kurun waktu kali ini ditandai dengan runtuhnya negara Orde Baru, dan, naiknya Gus Dur ke pucuk tertinggi kekuasaan formal dalam ruang lingkup state. Situasi ini menimbulkan kebingungan gerakan yang cukup kompleks bagi PMII sebab, disatu sisi, sejarah resistensi vis-à-vis state yang panjang sedang disisi lainnya, Gus Dur adalah simbol dari kekuatan resistensi itu sendiri. Ada yang mengatakan jikalau situasi ini mematahkan politik gerakan PMII yang sudah menjadi habitus dari para kadernya; menimbulkan kegagapan yang cukup ironis.

Kelima, pembentukan pengetahuan dalam kurun waktu 2006-2010. Yakni, kurun waktu yang ditandai dengan rontoknya state-led development dan naiknya kuasa korporasi (TNC’s/MNC’s) yang dibenarkan oleh gelombang pasang neoliberalisme. Lantas, yang terjadi adalah pelemahan sistematik, kalau bukan malah, penyingkiran, Negara dari daulat pengelolaan sumberdaya alam. Menghadapi situasi ini, PMII mulai menata pengetahuannya, dengan memasukkan cara pandang geostrategi. Konsekuensinya, cara pandang ini ‘memaksa PMII’ untuk menyimak secara utuh perkembangan situasi internasional (interstate system) dan posisi Indonesia didalamnya.

Dengan mengikuti pembagian pengetahuan yang sangat sederhana diatas, yang juga membentuk politik pergerakan PMII selama 50 tahun, maka tema laut dan sejarah baru hadir di fase kekinian. Sebab itu, tidak berlebihan dikatakan tema laut dan sejarah barulah hadir sebatas wicara, belumlah menjadi wacana (discourse). Apa beda wicara dan wacana ?. Sebagai wicara, ia masih terdengar sumbang dan tidak merata, sedang, jika sudah menjadi wacana, bunyinya sudah serentak dan terdengar merdu.

Sehingga, saya mengusulkan bagi kita untuk mengembangkan kebutuhan dan rencana belajar. Semoga , kerangka sederhana yang saya tawarkan ini bisa membantu.

Demi memahami tema laut dan sejarah, kita bisa menyusun empat kuadran. Sebagaimana tampak dalam gambar berikut ini.


Kuadran I, sebelah kiri, diisi oleh MANUSIA, yang bisa kita sebut sebagai aktor atau khalifatullah fil ardh. Kuadran II, paling kanan, adalah MASYARAKAT, yang merupakan rumah kebudayaan, rumah peradaban. Selanjutnya, kuadaran ke III, LAUT, yang mewakili kenyataan sumberdaya alam, ekologi, atau makro kosmos. Dan, kuadran ke IV, yang terletak disisi paling atas, adalah KUASA, yang merupakan wujud dari power (manifest pun latency) dimana bentuk kelembagaan termajunya saat ini adalah negara (State).
Keempat kuadaran ini terhubung secara dinamis, saling mempengaruhi. Yang jangan dilupakan adalah pengaruh ruang dan waktu, dimana, keempat kuadran itu terus menyusun, saling membentuk, atau bahkan, saling konflik. Karena, hanya dalam ruang dan waktu, keempat kuadran itu mewujud secara empiris, menjadi faktual dan real, sebaliknya, jika kita melepaskan dari ruang dan waktu, maka, dia hanya menjadi abstraksi kosong.
Dalam konteks menjadikan laut dan sejarah sebagai subyek material maka perlu dilakukan penelusuran dan pendalaman atas keempat kuadran itu secara integratif tentu dengan menyusun prioritas yang mau dikaji terlebih dahulu. Karena itu, pekerjaan jangka panjang kita masih banyak, masih terbentuk ruang kosong gagasan yang harus terus diisi dengan jutaan wicara tentang tema laut dan sejarah.
Dan, pekerjaan seperti itu, tentu tak bisa berakhir lewat forum yang terbatas ini. ***

Kamis, 05 Mei 2011

Selayang Pandang PMII


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Latar belakang pembentukan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
  1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  3. Pisahnya NU dari Masyumi.
  4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
  5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII

Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45

Rabu, 04 Mei 2011

Forum ajang diskusi online Pmii manado

Selamat datang Sahabat di Forum Diskusi PMII Cabang Manado

Forum Diskusi PMII Cabang Manado


full screen http://forum-diskusi-pmii-cabang-manado.2290557.n4.nabble.com/

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More