Kamis, 26 Mei 2011

Home » » Laut dan Sejarah dalam Pengetahuan PMII

Laut dan Sejarah dalam Pengetahuan PMII

Catatan dari Semiloka Kemaritiman Nasional PMII di Manado
Subronto Aji


Tema laut juga sejarah dalam keseluruhan varian sub-tema didalamnya barulah marak diwicarakan (belum diwacanakan) kurang lebih setengah dasawarsa terakhir. Sebagaimana itu juga terjadi pada tema sejarah, barulah akhir-akhir ini mulai marak diwicarakan dalam forum-forum PMII. Tetapi, itu tidaklah berarti selama ini, tema laut dan sejarah tidak diperhatikan PMII secara organisasional. Mungkin, porsinya yang kurang diperhatikan, khususnya menyangkut kedalaman dan keluasannya.

Sebab apa tema laut dan sejarah kurang diperhatikan adalah pertanyaan yang akan dijawab dengan bermacam argumentasi. Menurut saya, salah satu sebab adalah sejarah pengetahuan di PMII itu sendiri yang terlalu condong pada tema-tema filsafat , agama, dan teori sosial kritis. Filsafat dalam konteks PMII lebih dominan digunakan untuk memahami pokok pikiran dan relevansinya dengan kebutuhan pergerakan; filsafat yang menjadi praktis. Begitu juga dengan tema-tema keagamaan, jika bukan pada wilayah normativitas, maka ia akan mengambil bentuk-bentuk agama dan pembebasan social. Lalu, pararel dengan itu, teori-teori social pun mengambil bentuk yang sama : instrument kritik dan penggerak komunitas ‘melawan’ sistem social yang timpang dan dehumanistik.

Fenomena seperti ini, dimana filsafat, agama, dan teori sosial, didorong menjadi praktis bisa kita periksa real sejarah gerakan anak PMII. Dalam terang kritisisme, filsafat, agama, dan teori sosial yang dipandang fungsional di PMII adalah yang menganjurkan kritik dan protes-protes langsung serta terbuka terhadap sistem yang menindas. Hanya saja, dalam semangat dan terang kritisisme yang luar biasa itu, dimana kader-kader PMII bisa begitu militant, filsafat, agama, dan teori sosial seringkali tidak cukup mendalam difahami. Akan tetapi, walau terasa kurang dalam lingkup kedalaman, tetapi, ketika menjadi praktis, tema filsafat, agama, dan teori sosial, justru subur dalam dunia wicara anak PMII; naik status dari wicara menjadi wacana.

Barangkali, dalam konteks pewicaraan yang massal, dimana menjadikan ‘segala macam pemikiran dan doktrin keagamaan’ menjadi praktis dengan tingkat utilitas yang tinggi, memang perlu dalam sebuah masa/waktu. Paling tidak, selain membentuk militansi kolektif, juga untuk menguatkan identitas gerakan dalam ruang publik gerakan mahasiswa dan kaum muda. Motivasi membentuk militansi dan identitas gerakan secara terbuka dan kontinyu, dalam sebuah kurun waktu tertentu, memang bisa menjadi factor yang membedakan ‘kita’ dengan ‘bukan kita’. Seperti halnya dalam masa kekuasaan Orde Baru, mekanisme politik kooptasi atau korporatisme begitu efektif dalam mengkanal gerakan mahasiswa dan kaum muda. Sehingga, ada kebutuhan untuk merawat militansi dan identitas kritis vis-à-vis negara.

Formasi dan Postur Pengetahuan PMII

Kita mau mencoba membuat peta sederhana tentang sejarah pengetahuan PMII. Hanya saja, yang dimengerti sebagai pengetahuan janganlah dibayangkan sebagai pengetahuan yang sistematik dalam definisi filsafat. Tetapi pengetahuan yang dimaksud adalah cara pandang PMII terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya yang dari situ PMII menyusun politik pergerakannya. Karena itu, pengetahuan di PMII, bisa bersumber dari ajaran-ajaran keagamaan, filsafat teori social, teori politik, teori ekonomi, dan lainnya, tetapi, dalam prakteknya, ia tidak menjadi filsafat PMII atau teori-teori PMII.

Dalam konteks seperti ini, pengetahuan yang dimaksud adalah tindakan-tindakan rasional PMII ketika menyikapi perubahan lingkungan eksternal pun dalam dirinya, termasuk juga posisi dan relasi-relasi, persaingan, kekalahan, trauma, dendam, dan imajinasi masa depannya. Dus, pengetahuan PMII yang dimaksud bisa dimengerti sebagai modus gerak dari PMII itu sendiri. Ini tak lantas berarti bahwa sumber-sumber pengetahuan, dari ajaran agama, filsafat, atau teori social itu, berbanding lurus dengan tingkat pemahaman yang expert.

Pada usaha menyusun peta sejarah pengetahuan inilah, tema laut dan sejarah turut menjadi bahan baku yang menyusun pengetahuan PMII. Namun, yang perlu dikenali adalah dalam kurun waktu seperti apa, tema-tema tertentu menjadi terlihat dominan, dan yang lain tersingkirkan.

Demikian juga dengan tema sejarah dan laut. Dalam konstruksi kurikulum kaderisasi PMII—artinya juga dalam konstruksi pengetahuannya—barulah mendapat bobotnya yang cukup sekitar setengah dasawarsa terakhir. Fakta ini tercermin dalam dokumen resmi panduan kaderisasi nasional, sebelum munculnya ‘Membangun Centrum Gerakan di era Neoliberal (2005)’ dan ‘ Multilevel Strategy (2008)’. Itu berarti, sebelum ini, konstruksi pengetahuan di PMII, selain menjadi kritisisme yang praktis, juga kurang memberi bobot terhadap sejarah dan laut sebagai ‘subyek material’ yang menyusun nilai, nalar, mental hingga gerak individu pun kolektif.

Perbincangan laut dan sejarah, sebagaimana juga kita lewati di forum seminar dan lokakarya kali ini, merupakan tema yang demikian luasnya. Membicarakan laut adalah membicarakan tema yang meliputi banyak hal, dari soal ekosistem, ekologi pesisir, ekonomi, sosio-antropologi, hingga kosmologi laut. Pun juga untuk tema sejarah, kita bisa membicarakannya sejak zaman pra sejarah hingga sejarah, sejarah orang-orang kecil dan sejarah orang-orang besar, atau, sejarah politik dan sejarah sosial.

Oleh karena itu, terhadap tema laut dan sejarah tersusun paradigma yang bukan saja membedakan, tetapi juga, menunjukan concern, analisis hingga kesimpulan yang berbeda. Deretan paradigma yang berbeda itu, terkadang juga, saling berkonflik dan menegasikan kesimpulan satu terhadap yang lain. Karena begitu, maka, memilih salah satu atau beberapa paradigma dalam memahami narasi laut dan sejarah diperlukan sikap kritis yang menyaratkan kesungguhan menggali kedalaman dan kerumitan.

Hal yang sama juga berlaku bagi PMII. Usia bio-historis PMII yang sudah memasuki usia emas (50 tahun) juga ditandai dengan pasang surut serta bongkar pasang pengetahuan. Sepanjang usia 50 tahun itu, kita bisa membedakan tiga fase pembentukan atau ciri pengetahuan di PMII. Mari kita simak bersama-sama.

Pertama, untuk kurun waktu (1960-1967), pengetahuan PMII tersusun dalam masa-masa pergolakan politik nasional, khususnya yang berkaitan dengan melemahnya Orde Lama. Disisi eksternal, pengetahuan itu disusun ditengah masa perang dingin. Ciri dasar dari pengetahuan di zaman ini adalah konsentrasinya yang besar terhadap isu-isu demokrasi, anti korupsi, juga kesejahteraan rakyat. Salah satu yang bisa menjadi tanda pengetahuan dari masa awal ini adalah munculnya KAMI yang bergerak dibaris depan penjatuhan Soekarno. Bercermin dari kisah awal dimasa masih ‘balita ini’, jejak krisitisme dan resistensi PMII sudah diendapkan.

Kedua, pengetahuan yang terbentuk selama kurun 1967-1973. Kurun waktu ini memberi ciri pengetahuan PMII yang berfokus pada relasi antara Negara dan Rakyat. Kurun waktu ini ditandai dengan deklarasi Munarjati 1973, yang menegaskan independensi PMII dari Nahdlatul Ulama. Sebab, Nahdlatul Ulama kala itu, dipandang terlampau politis; doyan main politik praktis. Fase ini juga ditandai dengan makin menguatnya formasi Negara otoriter dan birokratis bernama Orde Baru, yang mengadopsi model pembangunan modernisasi. Akibat dari mengerasnya struktur otoriter dan birokratis itu adalah marginalisasi luar biasa yang diderita oleh warga Nahdlatul Ulama, yang sering dipandang sebagai kaum tradisionalis, the underdogs dalam istilah Sutan Sjahrir.

Ketiga, pengetahuan yang terbentuk dalam kurun waktu 1973-1998. Yakni, pengetahuan yang terbentuk dalam kultur kritik terhadap perjalanan negara Orde Baru. Untuk kurun waktu kali ini, PMII menyusun pengetahuannya dengan mengambil atau mengadopsi filsafat kritik, teori-teori ketergantungan, dan teologi pembebasan, khususnya Islam. Dalam kurun masa inilah, Arus Balik Masyarakat Pinggiran itu dimunculkan, juga teks tentang Menjadi Kader Pergerakan; keduanya adalah tanda pengetahuan. Yang pertama, berbicara tentang positioning terhadap negara dan modal, sikap dan rencana-rencana gerakan PMII, sedang yang kedua, berbicara tentang karakter dan identitas diri kader PMII. Begitu juga dengan paradigma Kritis Transformatif, yang pada intinya, masih mewarisi semangat Arus Balik Masyarakat Pinggiran.

Keempat, pembentukan pengetahuan dalam kurun waktu 1998-2005. Kurun waktu kali ini ditandai dengan runtuhnya negara Orde Baru, dan, naiknya Gus Dur ke pucuk tertinggi kekuasaan formal dalam ruang lingkup state. Situasi ini menimbulkan kebingungan gerakan yang cukup kompleks bagi PMII sebab, disatu sisi, sejarah resistensi vis-à-vis state yang panjang sedang disisi lainnya, Gus Dur adalah simbol dari kekuatan resistensi itu sendiri. Ada yang mengatakan jikalau situasi ini mematahkan politik gerakan PMII yang sudah menjadi habitus dari para kadernya; menimbulkan kegagapan yang cukup ironis.

Kelima, pembentukan pengetahuan dalam kurun waktu 2006-2010. Yakni, kurun waktu yang ditandai dengan rontoknya state-led development dan naiknya kuasa korporasi (TNC’s/MNC’s) yang dibenarkan oleh gelombang pasang neoliberalisme. Lantas, yang terjadi adalah pelemahan sistematik, kalau bukan malah, penyingkiran, Negara dari daulat pengelolaan sumberdaya alam. Menghadapi situasi ini, PMII mulai menata pengetahuannya, dengan memasukkan cara pandang geostrategi. Konsekuensinya, cara pandang ini ‘memaksa PMII’ untuk menyimak secara utuh perkembangan situasi internasional (interstate system) dan posisi Indonesia didalamnya.

Dengan mengikuti pembagian pengetahuan yang sangat sederhana diatas, yang juga membentuk politik pergerakan PMII selama 50 tahun, maka tema laut dan sejarah baru hadir di fase kekinian. Sebab itu, tidak berlebihan dikatakan tema laut dan sejarah barulah hadir sebatas wicara, belumlah menjadi wacana (discourse). Apa beda wicara dan wacana ?. Sebagai wicara, ia masih terdengar sumbang dan tidak merata, sedang, jika sudah menjadi wacana, bunyinya sudah serentak dan terdengar merdu.

Sehingga, saya mengusulkan bagi kita untuk mengembangkan kebutuhan dan rencana belajar. Semoga , kerangka sederhana yang saya tawarkan ini bisa membantu.

Demi memahami tema laut dan sejarah, kita bisa menyusun empat kuadran. Sebagaimana tampak dalam gambar berikut ini.


Kuadran I, sebelah kiri, diisi oleh MANUSIA, yang bisa kita sebut sebagai aktor atau khalifatullah fil ardh. Kuadran II, paling kanan, adalah MASYARAKAT, yang merupakan rumah kebudayaan, rumah peradaban. Selanjutnya, kuadaran ke III, LAUT, yang mewakili kenyataan sumberdaya alam, ekologi, atau makro kosmos. Dan, kuadran ke IV, yang terletak disisi paling atas, adalah KUASA, yang merupakan wujud dari power (manifest pun latency) dimana bentuk kelembagaan termajunya saat ini adalah negara (State).
Keempat kuadaran ini terhubung secara dinamis, saling mempengaruhi. Yang jangan dilupakan adalah pengaruh ruang dan waktu, dimana, keempat kuadran itu terus menyusun, saling membentuk, atau bahkan, saling konflik. Karena, hanya dalam ruang dan waktu, keempat kuadran itu mewujud secara empiris, menjadi faktual dan real, sebaliknya, jika kita melepaskan dari ruang dan waktu, maka, dia hanya menjadi abstraksi kosong.
Dalam konteks menjadikan laut dan sejarah sebagai subyek material maka perlu dilakukan penelusuran dan pendalaman atas keempat kuadran itu secara integratif tentu dengan menyusun prioritas yang mau dikaji terlebih dahulu. Karena itu, pekerjaan jangka panjang kita masih banyak, masih terbentuk ruang kosong gagasan yang harus terus diisi dengan jutaan wicara tentang tema laut dan sejarah.
Dan, pekerjaan seperti itu, tentu tak bisa berakhir lewat forum yang terbatas ini. ***

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More